Serat Centhini yang mulai ditulis pada tahun 1814 – 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V) merupakan sebuah karya sastra besar di dunia. Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.
“Serat Centhini adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia yang keberadaannya mulai terancam sirna. Untuk itulah saya tertarik untuk menyadurnya ke dalam bahasa Perancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,” kata Elizabeth D. Inandiak di Yogyakarta (22/07).
Oleh Elizabeth, karya adiluhung pujangga tanah Jawa ini merupakan sebuah peninggalan luar biasa yang dipunyai bangsa Indonesia yang harus diperkenalkan kepada dunia.
“Serat Centhini adalah harta luar karun biasa bangsa Indonesia yang harus diperkenalkan kepada dunia,” tambahnya.
Dalam buku sadurannya yang berjudul yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Laddy Lesmana, Serat Centhini terdiri dari 400 halaman yang bukan merupakan ringkasan buku asli, namun terjemahan.
“Buku aslinya terdiri dari 4.000-an halaman yang terdiri dari 12 jilid dengan ketebalan 4.200 halaman. Kini dalam buku saduran saya hanya terdiri dari 400 halaman. Ini buka menyingkat, tapi menyadur” ujarnya.
Berawal dari seorang Mohammad Rasyidi, Menteri Agama RI pertama yang mengerjakan disertasi doktornya tentang kitab Centhini: “Critique et Consideration du Livre Centhini” di Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1956, Elizabeth D. Inandiak mulai tertarik dengan salah satu karya sastra pujangga Jawa ini. Terlebih ketika pada tahun 1996, Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Thierry de Beauce terpesona dengan Serat Centhini dan bersedia untuk membiayai sebuah saduran karya adiluhung yang terancam sirna itu.
Oleh sejumlah pihak, Serat Centhini yang saat ini juga telah berhasil disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. Marsono dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kadang disamakan dengan Kama Sutra, Ramayana, ataupun Mahabarata. Faktanya, Serat Centhini menggambarkan seluruh sifat manusia yang ada dalam ketiga cerita tersebut di atas.
Joko Widiyarso – GudegNet
Rabu, 23 Juli 2008, 14:56 WIB
Sumber: gudeg.net.
0 comments:
Post a Comment