Showing posts with label Serat. Show all posts
Showing posts with label Serat. Show all posts

Kuliner Tempo Dulu Versi Serat Centhini

Berbagai-macam-kuliner-masyarakat-Jawa-tempo-duluDi tengah hiruk pikuk kemunculan berbagai jenis masakan atau makanan modern, kuliner “tempo doeloe” yang dikenal dengan sebutan jajanan pasar ternyata tetap saja eksis. Terutama di kalangan masyarakat Jawa, jajanan pasar masih dilestarikan, diuri-uri. Lihat saja upacara panen raya, atau pesta pernikahan, pindah rumah dll, jajanan pasar tidak ketinggalan dijadikan sebagai bagian dari uba rampe ritual.


Salah satu informasi mengenai kuliner Jawa tempo dulu tercatat pada Serat Centhini periode 1814-1823. Serat Centhini disusun oleh tim penulis yang dipimpin putra mahkota yang belakangan menjadi raja dan bergelar Paku Buwana V. Anggota tim terdiri dari Raden Ngabei Ronggowarsito, Raden Ngabei Yasadipura II dan Raden Ngabei Sastrodipuro.

Berbagai-macam-kuliner-masyarakat-Jawa-tempo-dulu
Berbagai macam kuliner masyarakat Jawa tempo dulu


Sebagaimana diketahui, Serat Centhini berbahasa dan berhuruf Jawa bertutur banyak mengenai seni, kehidupan dan kebudayan Jawa, agama, makanan tradisional, ramuan jamu tradisional, jenis-jenis tanaman Jawa termasuk di dalamnya adalah kisah percintaan.


Rentang wilayah yang diceritakan dalam Serat Centhini meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Mataram dan Jawa Timur.


Disebutkan di sana bahwa apa yang kemudian dikenal sebagai jajanan pasar dihidangkan untuk berbagai peristiwa penting seperti perjamuan makan tamu, pesta pernikahan, puputan anak, kematian, gekar kesenian, bergotong royong dan sebagainya.


Makanan yang dihidangkan meliputi makanan utama dan berbagai jenis lauk pauk hewani maupun nabati, kudapan basah maupun kering, minuman dan aneka buah-buahan.


Nasi-dan-lauk-pauk-untuk-selamatan-masyarakat-JawaDalam serat Centhini diceritakan kebanyakan masyarakat mengonsumsi hasil bumi dan karangtiri berupa pala kependhem (umbi-umbian), pala gemanthung (buah-buahan) serta pala kesimpar (buah di atas permukaan tanah). Masyarakat pada jaman itu melengkapi sajian jajanan pasar dengan hasil pekarangan lain seperti sirih, obat herbal, dan bunga-bungaan yang digunakan sebagai penghias dan pengharum seperti anggrek bulan, wora-wari, kenanga, cempaka, melati, menur dan bunga dangan.


Ketika datang hajatan, keluarga Jawa akan mengundang tetangga dan teman untuk berdo’a dan makan bersama. Kondangan, itulah istilah yang digunakan untuk menyebut aktivitas mendatangi tetangga atau teman yang sedang punya hajat. Setelah pesta usai, para tamu undangan yang kondangan ini diberi buah tangan oleh tuan rumah yang disebut “berkat”.


Selain “berkat”, dikenal pula makanan “punjungan” yaitu makanan yang dikirim kepada orang yang lebih tua dan dihormati. Ada juga makanan yang disebut “ulih-ulih”, yakni nasi dan lauk pauk untuk mereka yang terlibat among gawe.


Pada jaman itu, masyarakat telah mengenal dan membudayakan pola makan tiga kali sehari yaitu sarapan, makan siang, dan makan malam.


Di antara waktu makan dalam sehari biasanya tersaji aneka kudapan kering maupun basah, gurih, dan manis. Sedangkan minuman yang dihidangkan biasanya minuman hangat, berupa sari nabati (air tebu, teh, kopi, wedang bunga srigading, minuman blimbing wuluh, minuman bunga tempayang, minuman bunga sridenta, wedang jahe, wedang daun kemadhuh, wedang temulawak) minuman keras berupa arak dan tampo (minuman keras tape), susu, legen, air kelapa, cao, dawet, tajin dan rode.


Hasil-bumi-pencuci-mulut-masyarakat-Jawa-tempo-duluSerat Centhini juga menyebutkan, sajian makanan khusus juga diberikan kepada tetamu yang datang ke rumah. Hidangan ini terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, minuman dan aneka buah. Makanan utama yang disajikan bisa berupa nasi liwet, nasi tumpang, nasi uduk, nasi golong, nasi ketan, nasi megana, nasi kebuli dan nasi jagung. Selain nasi jagung, maka beras yang digunakan sebagai bahan pokok adalah beras gaga baik yang merah maupun putih.


Lauk pauk yang dihidangkan meliputi lauk hewani seperti ayam panggang, ayam goreng, sate ayam, age, dendeng goreng, dendeng bakar, empal, rempah, besengek, bekakak, pepes ikan, gulai kambing, mangut, telur asin, opor. Sedangkan lauk nabatinya antara lain sayur bening, sayur lodeh, brongkos, kemangi, timun, sambal goreng, sambal bawang, dan sambal kacang.


Minuman-klasik-masyarakat-Jawa-antara-lain-teh-dan-manisan-jamuMenemani aneka jenis makanan itu adalah minuman seperti teh, kopi, air putih, legen, air kelapa, wedang temulawak, wedang jahe, wedang seruni, dan minuman belimbing wuluh. Pada umumnya, minuman dihidangkan bersamaan dengan keluarnya camilan, seperti putu, carabikan, mendut, semar mendem, aneka jenang, wajik, gembili, lemper, brem serta pipis kopyor.


Terakhir, sebagai bagian dari pencuci mulut adalah berbagai macam buah, misalnya jeruk keprok, duku, manggis, kokosan, pakel, durian, putih, salak, kepundhung, pijetan, duwet dan srikaya.


Aneka makanan dan minuman tempo dulu itu memang tetap eksis sampai kini. Namun harus diakui, secara pelan-pelan tetapi pasti, mulai tergeser popularitasnya oleh makanan dan minuman “modern” seperti aneka kue dan tart serta soft drink sebagai pendampingnya. (The Real Jogja/joe)


Sumber: jogjanews.com.

Filed under: Apresiasi Serat Centhini, Berita Serat Centhini, Resep Masakan Centhini


 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Serat Centhini, Karya Sastra Besar di Dunia

centhini elizabethSerat Centhini yang mulai ditulis pada tahun 1814 – 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V) merupakan sebuah karya sastra besar di dunia. Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.


“Serat Centhini adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia yang keberadaannya mulai terancam sirna. Untuk itulah saya tertarik untuk menyadurnya ke dalam bahasa Perancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,” kata Elizabeth D. Inandiak di Yogyakarta (22/07).


Serat Centhini PrancisOleh Elizabeth, karya adiluhung pujangga tanah Jawa ini merupakan sebuah peninggalan luar biasa yang dipunyai bangsa Indonesia yang harus diperkenalkan kepada dunia.


“Serat Centhini adalah harta luar karun biasa bangsa Indonesia yang harus diperkenalkan kepada dunia,” tambahnya.


Dalam buku sadurannya yang berjudul yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Laddy Lesmana, Serat Centhini terdiri dari 400 halaman yang bukan merupakan ringkasan buku asli, namun terjemahan.


“Buku aslinya terdiri dari 4.000-an halaman yang terdiri dari 12 jilid dengan ketebalan 4.200 halaman. Kini dalam buku saduran saya hanya terdiri dari 400 halaman. Ini buka menyingkat, tapi menyadur” ujarnya.


Berawal dari seorang Mohammad Rasyidi, Menteri Agama RI pertama yang mengerjakan disertasi doktornya tentang kitab Centhini: “Critique et Consideration du Livre Centhini” di Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1956, Elizabeth D. Inandiak mulai tertarik dengan salah satu karya sastra pujangga Jawa ini. Terlebih ketika pada tahun 1996, Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Thierry de Beauce terpesona dengan Serat Centhini dan bersedia untuk membiayai sebuah saduran karya adiluhung yang terancam sirna itu.


Oleh sejumlah pihak, Serat Centhini yang saat ini juga telah berhasil disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. Marsono dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kadang disamakan dengan Kama Sutra, Ramayana, ataupun Mahabarata. Faktanya, Serat Centhini menggambarkan seluruh sifat manusia yang ada dalam ketiga cerita tersebut di atas.


Joko Widiyarso – GudegNet
Rabu, 23 Juli 2008, 14:56 WIB
Sumber: gudeg.net.

Filed under: Apresiasi Serat Centhini, Berita Serat Centhini, Elizabeth Inandiak


 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ensiklopedi Serat Centhini

Ensiklopedi Serat CenthiniSerat Centhini merupakan sebuah ensiklopedi yang memuat berbagai informasi penting mengenai politik, ekonomi, sastra, budaya, religi yang telah berkembang di Jawa pada era Sebelum Masehi hingga pada ke 18 Masehi. Para krtiikus memuji kitab ini sebagai karya sastra istana Jawa yang megah, mewah, indah, dan bermutu tinggi.

Banyak ilmuwan yang membicarakan, mengkaji, dan menimba ilmu pengetahuan Jawa dari Serat Centhini yang kaya akan data, fakta, dan analisa. Tidak berlebihan bila para ilmuwan besar menyebut serat yang disusun atas prakarsa Sinuhun Paku Buwana V di Surakarta ini sebagai warisan sastra dunia. Karya sastra ini telah memberi kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Dokumentasi dan klasifikasi berbagai ilmu pengetahuan, telah menunjukkan para cendekiawan Jawa. Elit cendekiawan mampu berkomunikasi di panggung ilmiah internasional.

Kehadiran serat centhini pada kancah pustaka dunia itu, secara otomatis mengangkat harkat, martabat dan derajat jatidiri bangsa. Ternyata dientitas suatu bangsa hanya bisa ditampilkan lewat kreativitas dan produktivitas. Serat centhini sudah membuktikan kaitan antara prestise dan prestasi bangsa Indonesia. Buku Ensiklopedi serat Centhini ini bermaksud memberikan rangkuman atas data, falta dan analisa terpenting dari kitab tersebut. Kehadiran buku ini sungguh akan memudahkan pembaca dalam memahami isi kitab yang sangat tebal ini dalam waktu singkat , tepat dan akurat.

Keterangan Rinci:

Judul: Ensiklopedi Serat Centhini
Penulis: Drs. Djoko Dwiyanto, M. Hum
Thn Terbit: 2008
Bahasa: Indonesia
ISBN: 1001071mhus
Halaman: 821

Filed under: Buku Serat Centhini, Resensi Serat Centhini


View the original article here

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menu Tongseng Tupai dari Serat Centhini

Menu Tongseng Tupai dari Serat Centhini 1TEMPO Interaktif, Jakarta: Seporsi tongseng di atas meja itu terlihat aneh. Di antara potongan-potongan daging dalam genangan kuah kuning kecokelatan itu menyembul selarik ruas-ruas tulang berbalut daging sepanjang sejengkal dengan satu ujungnya lancip. Ya, benda aneh itu memang sepotong ekor tupai. Nama masakannya juga cukup aneh: Tongseng Bajing Mlumpat alias Tongseng Tupai Melompat. Jangan merasa bergidik dulu. Meski aneh, menu masakan ini bersumber dari Serat Centhini, sebuah naskah kuno yang sangat masyhur.


Menu Tongseng Tupai dari Serat Centhini 1Penasaran ingin mencicipi menu yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit asma ini? Kita bisa menikmatinya di Waroeng Dhahar Pulo Segaran, yang terletak di kompleks Rumah Budaya Tembi, Desa Tembi, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.


“Menghidangkan menu-menu yang bersumber dari Serat Centhini adalah bagian dari niat kami untuk melestarikan budaya leluhur. Sama sekali tidak ada niatan untuk mencari sensasi,” ujar Alex Listyadi, General Manajer Rumah Budaya Tembi.


Bumbu untuk Tongseng Bajing Mlumpat sama dengan tongseng ayam atau tongseng kambing, yang sudah sangat dikenal masyarakat Jawa sejak dulu. Menyantap masakan tongseng membuat badan menjadi hangat oleh paduan rempah seperti kunyit, jahe, bawang, dan merica yang menjadi bumbu utamanya.


Mereka yang tidak biasa memakan daging tupai tentu akan sedikit mengalami masalah saat menyantap tongseng tupai ini, apalagi kepala dan ekor tupai tidak dibuang. “Justru daging tupai inilah yang punya efek menyembuhkan penyakit asma, seperti disebut dalam Serat Centhini,” ujar I Made Bawa, juru masak Waroeng Dhahar Pulo Segaran.


Menu Tongseng Tupai dari Serat Centhini 2Bagi Made Bawa, yang sudah berpengalaman sebagai koki, memasak Tongseng Bajing Mlumpat tentu bukan hal sulit. Untuk satu porsi Tongseng Bajing Mlumpat seharga Rp 25 ribu ini dibutuhkan dua ekor tupai. Setelah dikuliti, tupai dipotong-potong dan dimasukkan ke bumbu tongseng hingga empuk. Untuk memperkaya rasa, ditambahkan potongan kol, wortel, serta taburan lada hitam.


Warung makan ini juga menawarkan Tongseng Manuk Emprit alias Tongseng Burung Pipit–juga bersumber dari Serat Centhini–yang berkhasiat menyembuhkan penyakit asma.


Untuk satu porsi Tongseng Manuk Emprit, dibutuhkan enam ekor burung pipit yang sudah dihilangkan bulu, kepala, dan cakarnya. Enam burung pipit yang sudah digoreng itu kemudian dimasukkan ke bumbu tongseng, ditambah sayuran kol dan wortel. Rasa daging burung pipit yang gurih dan ramuan bumbu tongseng akan langsung menghangatkan badan setelah kita santap.


Tidak sulit bagi pengelola Waroeng Dhahar Pulo Segaran untuk mendapatkan bahan baku tupai dan burung pipit. Dua binatang itu masih bisa didapatkan dengan mudah dari Pasar Hewan Ngasem di Yogyakarta. “Untuk Tongseng Manuk Emprit, bisa langsung dipesan di warung karena stok burung pipit selalu tersedia di sini. Namun, untuk Tongseng Bajing Mlumpat, harus dipesan beberapa hari sebelumnya karena stok tupai belum tentu tersedia,” Alex Listyadi menjelaskan.


Serat Centhini merupakan buku yang berisi tembang Jawa, dibuat pada 1814 di Keraton Surakarta. Naskah setebal 6.000 halaman itu menceritakan pengembaraan Seh Amongraga ke pelosok Tanah Jawa, dengan berbagai pengalaman dan perjumpaan dengan banyak orang.


Disebut-sebut oleh beberapa ahli sebagai ensiklopedia kebudayaan Jawa, kini naskah asli Serat Centhini tersimpan di Perpustakaan Keraton Surakarta. Di dalamnya termuat pengalaman Seh Amongraga yang berisi ilmu pengetahuan kebudayaan Jawa, antara lain tentang keagamaan, seni musik, seni tari, ramalan, nama-nama tempat di Jawa, nama tumbuhan, siklus kehidupan, erotisisme, dan nama-nama makanan serta minuman.


Alex Listyadi mengakui, Waroeng Dhahar Pulo Segaran baru bisa menawarkan beberapa menu yang bersumber dari Serat Centhini. Selain dua jenis tongseng tersebut, warung makan ini menyajikan Oseng-oseng Manuk Emprit, Rawong Kutuk (ikan gabus), Nasi Goreng Manuk Emprit, Soto Kambangan (soto bebek), Gulai Banyak (angsa), dan sebagainya.


Menawarkan seluruh menu yang disebut dalam Serat Centhini jelas merupakan pekerjaan sulit, meski diakui Alex hal itu menjadi salah satu obsesinya. Sebab, di dalam Serat Centhini disebut ratusan jenis masakan, di antaranya 40 macam nasi, 31 macam sayuran, 148 lauk pauk, 117 macam makanan camilan, dan 46 macam sambal.


Wangi nasi organik jenis Pandan Wangi makin menambah sensasi masakan tempo dulu dari Serat Centhini. Sembari makan di lantai dua rumah makan model panggung ini, kita juga bisa menikmati pemandangan hamparan sawah di sekitarnya. Jika beruntung, seraya menyantap makanan, kita akan disuguhi atraksi para petani menanam padi.


“Nasi yang kami olah di warung ini adalah beras organik yang dihasilkan para petani di sekitar sini. Kami memang menjalin kerja sama dengan para petani. Saat ini kami menggunakan nasi organik jenis Menthik Wangi. Kami sedang merencanakan menanam padi jenis Menthik Susu, yang lebih empuk dan lebih wangi,” Alex Listyadi mengungkapkan.


Selain menu khas yang bersumber dari Serat Centhini, kita juga bisa memesan Teh Uwuh. Minuman khas dari Imogiri, Bantul, ini terdiri atas ramuan jahe, kayu manis, cengkeh, dan beberapa daun yang tumbuh di daerah Imogiri. Ramuan itu kemudian dimasukkan ke air mendidih, ditambah gula batu. Khasiat minuman Teh Uwuh ini adalah menghangatkan badan dan mengembalikan stamina tubuh.


Heru CN (Yogyakarta)


Sumber: TEMPO Interaktif. Senin, 13 April 2009

Filed under: Apresiasi Serat Centhini, Berita Serat Centhini, Resep Masakan Centhini


 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Isyarat Alam dalam Serat Centhini

Serat CenthiniCenthini adalah nama kumpulan serat-serat atau yang ditulis oleh sebuah tim, atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III. Penulisan kitab Centhini dimulai pada hari Sabtu Pahing 26 Sura 1742 Tahun Jawa atau 1814 Tahun Masehi. Apa saja isi serat tersebut?


Tim yang ditugaskan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III, diantaranya Raden Ngabehi Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara, red), abdidalem bupati pujangga kadipaten, Raden Ngabehi Sastradipura, abdidalem Kliwon carik kadipaten, dan Pangeran Jungut Mandurareja, pradikan krajan Wangga, Klaten Surakarta.


Selain itu masih ada nama lain yang ditunjuk, yaitu Kyai Kasan Besari, ngulama agung ing Gebangtinatar, Panaraga, menantu Sinuhun Paku Buwana IV, Kyai Mohamad Minhad, ngulama agung ing Surakarta, dan diketuai oleh Ki Ngabei Ranggasutrasna, abdidalem kliwon carik kadipaten.


Yang menjadi acuan tim dalam menulis, menyusun serat-serat tersebut adalah serat “Suluk Jatiswara” yang ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwono III tahun 1711 Jawa.


Sebenarnya kumpulan serat-serat tersebut diberi nama “Suluk Tambangraras” namun sosialisasinya lebih populer dengan sebutan serat Centhini . Nama Centhini diambil dari nama seseorang yang mengabdi kepada Niken Tambangraras istri Syeh Amongraga tokoh penting dalam serat tersebut.


Serat Centhini berisi berbagai macam pengetahuan, antara lain; kawruh agama, sastra, seks, situs, pawukon, primbon, keris, obat dan lain sebagainya. Karena isinya bermacam-macam, maka serat Centhini dianggap sebagai Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.


Kepeduliannya untuk menggali kembali nilai-nilai yang terkandung dalam serat-serat warisan adiluhung, telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk Yayasan Centhini yang telah melatinkan teks Centhini berbahasa Jawa dalam tembang macapat dan menerbitkannya sebanyak 12 jilid.


Bagi masyarakat yang berminat mengenal dan memahami isi Serat Centhini , dapat mengikuti sarasehan dan macapatan setiap Selasa Pahing atau malam Rabu Pon yang digelar oleh paguyuban pelestari budaya Jawa, di Rumah Budaya Tembi, Jogjakarta.


Dalam serat Centhini Jilid 1 Pupuh 22 dengan tembang Mijil, dikisahkan, ketika perjalanan Raden Jayengresmi bersama kedua abdinya, Gathak dan Gathuk sampai di Tuban, di hutan Bagor, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara meriam menggelegar bagaikan gempa.


Bersamaan dengan suara tersebut, munculah seorang putri cantik yang mengaku bernama Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan. Menurut penuturannya, Kanjeng Ratu Mas Trengganawulan adalah putri Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir.


Ketika Majapahit runtuh ia melarikkan diri dan sampai di hutan Bagor wilayah Tuban. Di hutan tersebut Trengganawulan mendapat perintah dari Hyang Widdhi untuk merajai para makhluk halus. Setiap hari Sukra Manis Trenggana Wulan muncul di sendang Sugihwaras, tempat ia mandi, untuk menemui seseorang yang sedang menjalani laku tirakat.


Dalam pertemuannya dengan Kangjeng Ratu Trengganawulan, Raden Jayengresmi, menyatakan keprihatinannya, karena hingga kini belum dapat menemukan kedua adiknya yang bernama Raden Jayengsari dan Niken Rangcangkapti.


“Jangan kecewa Raden, bersabarlah, akan tiba saatnya engkau bertemu dengan ke dua adikmu. Nanti sewaktu engkau menjalani hukuman dibuang ke laut, di Tunjungbang, engkau akan bertemu dengan ke dua adikmu.” (Jilid 1 Pupuh 22 Pada 12 & 13).


Isyarat Burung Dhandhang


Selain meramal bertemunya Raden Jayengresmi dengan kedua adiknya, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menuturkan kaweruh alam kepada Raden Jayengresmi, kaweruh tersebut diantaranya:

Pertanda alam melalui suara Burung Dhandhang. Dhandhang adalah jenis burung, berwarna hitam, bentuknya mirip burung Gagak namun lebih kecil.Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Timur ke Barat rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang pandhita atau orang luhur.Jika burung Dhandhang bersuara dari arah Timur ke Selatan rumah, itu pertanda baik, apa yang dikerjakan akan mendapatkan hasil yang memuaskan.Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki.Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada pertengkaran merebutkan hal-hal sepele.Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Barat rumah, itu pertanda baik, akan segera mendapat jodhoh.Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Barat rumah, itu pertanda jelek, akan menderita sakit dan kekecewaan yang mendalam.Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara rumah, itu pertanda jelek, akan mendapat malu.Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Timur rumah, itu pertanda baik, akan kedatangan saudara jauh.Jika burung Dhandhang bersuara, di atap rumah, itu pertanda jelek, akan ada anggota keluarga yang meninggal.

Isyarat Burung Prenjak


Masih dalam serat Centhini , pertanda alam bisa ditengarai berdasarkan suara burung Prenjak. Jika ada dua burung Prenjak berkicau bersautan di arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu bangsawan yang berkendak baik.

Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada tamu yang mengajak bertengkar.Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Utara rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang guru memberi wangsit yang baik dan suciJika ada burung Prenjak berkicau di arah Timur rumah, itu pertanda jelek, akan ada kebakaran.Jika ada burung Prenjak berkicau mengitari rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki yang khalal.

Setelah menjelaskan pertanda burung Dhandhang dan Burung Prenjak, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menggarisbawahi, bahwa sebenarnya kawruh tersebut merupakan tinggalan jaman dahulu, benar salahnya diserahkan pada kehendak Hyang Widdhi.


Pada awalnya alam memang bersahabat dengan manusia, ketika manusia menghargai alam karena merasakan hidupnya tergantung kepada alam. Sehingga melalui alam ada tanda-tanda yang sangat berguna bagi kehidupan. Apa yang dituliskan dalam Kitab Centhini memberi gambaran hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.


Namun apakah pertanda alam itu masih cocok jika diterapkan pada jaman sekarang. Tentunya tidak! Karena jaman sekarang, Kicau burung Prenjak yang merdu indah hanya memberi satu tanda, yaitu “uang.” Orang akan berebut menangkapnya untuk kemudian menjualnya. Demikian juga suara Burung Dhandhang yang semakin jarang, memberi pertanda bahwa ada yang sudah hilang dalam hidup ini, yaitu penghargaan akan hidup, penghargaan akan alam yang menghidupi. (*tmb)


Sumber: misterionline.com.

Filed under: Apresiasi Serat Centhini


 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... My Ping in TotalPing.com